Select Menu
Select Menu

Favourite

KABAR CIREBON

INDRAMAYU

MAJALENGKA

CIREBON

KUNINGAN

JABAR

WONG CILIK

Seni Budaya

Kuliner

» » Perajin Gerabah di Desa Parung Majalengka Berkurang


Unknown 08.28 0


MAJALENGKA - Gerabah yang diproduksi perajin di Desa Parung, Kecamatan Leuwimunding, Kabupaten Majalengka, tak mampu bersaing dengan gerabah produk luar yang lebih baik dan model yang beragam. Kini, jumlah perajin gerabah semakin terbatas.

Dulu menurut keterangan sejumlah warga, hampir semua warga Desa Parung bermata pencaharian dari kerajinan gerabah tradisional, namun belakangan akibat pasar yang semakin terbatas wargapun tak mampu mengembangkan usahanya, akibatnya perajin pun semakin sedikit . Sebagian besar warga beralih profesi bekerja ke luar kota.

Gerabah yang diproduksi oleh warga Desa Parung hanya beberapa jenis saja yang pasarnya pun sangat terbatas, seperti halnya cetakan serabi, cowet, tutup dandang, pendil kecil dan sedang, serta dudukan panci atau dandang yang biasa digunakan memasak di tungku kayu bakar.

Menurut beberapa perajin gerabah seperti disampaikan Uca, Inah dan Sanimah, saat ini jumlah perajin gerabah di desanya tinggal enam orang, satu orang di antaranya penampung barang setengah jadi. Perajin banyak yang menghentikan usahanya karena biaya produksi tidak sebanding lagi dengan yang dihasilkan.

Dulu harga tanah liat masih murah bahkan bisa mengambil dari areal terdekat, kini harus membeli ke wilayah Desa Majasuka atau Desa Tegalaren, Kecamatan Ligung demikian juga pasir sebagai campuran tanah liat.

“Harga tanah liat satu kol (mobil bak -red) bisa mencapai Rp 500.000 hingga di rumah, karena kendaraan tidak bisa masuk ke pekarangan sehingga butuh roda dan pekerja untuk mengangkut. Belum lagi pasir,” ungkap Uca, perajin pendil.

Makanya menurut Uca, saat ini para perajin lebih memilih membeli tanah liat dalam jumlah terbatas atau diistilahkan warga “salondong” (seukuran ember besar) seharga Rp 2.500. Setiap orang menurut dia hanya membuat satu hingga dua jenis barang saja.

Inah misalnya dia hanya membuat cowet, Munah membuat cetakan serabi, Sintul membuat pendil kecil, serta Uca membuat pendil sedang dan cowet. Barang-barang tersebut setelah kering dijual kepada Sanimah sekaligus untuk dibakar. Karena Sanimah adalah satu-satunya pemilik pembakaran gerabah.

“Berhentinya para perajin akibat bahan baku mahal, sementara harga jual sangat murah. Satu hari kerja membuat gerabah tidak cukup untuk biaya hidup sehari, terlebih bila cuaca buruk. Makanya anak muda lebih memilih bekerja ke Tanggerang dan Jakarta,” kata Uca yang mengaku hanya bisa membuat lima pendil setiap harinya.

Namun demikian menurut Inah pekerjaan seperti ini tetap dilakukannya karena tidak bisa melakukan pekerjaan lain. Dia mengaku setiap harinya hanya mampu membuat 20 cowet tanah, setiap cowet mentah dia jual seharga Rp 750.

Sanimah sebagai penampung barang menyatakan, pasar gerabah yang diproduksinya hanya untuk kebutuhan tertentu, misalnya saja pendil kecil hanya untuk kebutuhan orang melahirkan untuk menyimpan plasenta, pendil sedang untuk tujuh bulanan, cowet pasarnya juga terbatas hanya untuk perajin brem atau ibu rumah tangga karena cowet tanah kini tergeser oleh cowet batu.

“Saya punya beberapa orang pedagang keliling dan beberapa pembeli yang datang langsung ke sini, mereka berjualan di sejumlah pasar,” ungkap Sanimah.  (PRLM)

«
Next
Posting Lebih Baru
»
Previous
Posting Lama