KABAR CIREBON
INDRAMAYU
MAJALENGKA
CIREBON
KUNINGAN
JABAR
WONG CILIK
Seni Budaya
Kuliner
BUDAYA
Jaipongan, juga dikenal sebagai Jaipong, merupakan tarian tradisional yang populer dari masyarakat Sunda, Jawa Barat, Indonesia. Tarian ini diciptakan oleh Gugum Gumbira, berdasarkan musik Sunda Ketuk Tilu tradisional dan gerakan Pencak Silat.
Jaipongan, juga dikenal sebagai jaipong, adalah kinerja genre musik dari masyarakat Sunda dalam bahasa Sunda dari Jawa Barat, Indonesia. Jaipongan termasuk menghidupkan kembali seni adat, seperti gamelan, tetapi juga tidak mengabaikan musik Barat sepenuhnya meskipun larangan rock and roll. Dulu sensualitas dan sensualitas ditemukan di sebuah desa tradisional musik dan tari, ketuk tilu. Namun, banyak yang percaya itu adalah sesuatu yang murni Indonesia atau Sunda berasal dan gaya. Hal ini dikembangkan didominasi dari bentuk rakyat pedesaan dan tradisi sebagai bentuk murni asli. Munculnya kaset dan film telah menyebabkan popularitas bentuk musik jaipongan. Hal ini telah menyebar dari rumah di Jawa Barat Sunda, Jawa dan Indonesia lebih besar. Hal ini dapat dilihat karena banyak varietas regional gong-berpadu kinerja ditemukan melalui banyak Indonesia. Sebagai juga bentuk tari perkotaan, hal ini terutama didasarkan pada bentuk desa ketuk tilu dan pada seni bela diri Indonesia, pencak silat. Genre musik sangat dipengaruhi dari ketuk tilu dengan jejak tarian wayang topeng, topeng banjet dan teater boneka wayang golek. Ketuk tilu pengaruh terbesarnya, sebagai bentuk hiburan musik Sudan tradisional.
Kinerja gong-chime ditandai dengan fitur seperti: penggunaan ensemble didominasi oleh idiophones, metalofon dan gong Knobbed. Ini adalah polifoni bertingkat, dengan instrumen yang lebih rendah-pitch bermain bagian kepadatan rendah dan semua bagian yang terstruktur colotomically sekitar waktu-siklus. Hal ini dapat ditemukan dalam gamelan tradisional Indonesia. Ada improvisasi pada instrumen tertentu. Modus yang digunakan dikelompokkan menjadi dua jenis luas: slendro pelog dan.
Ketuk tilu adalah genre musik didasarkan dari ritual dan perayaan di desa-desa masyarakat Sunda, yang berarti tiga gong ketel. Itu dikenal karena drum yang kompleks dikoordinasikan dengan sama-sama dinamis penari wanita solo. Musik itu dilakukan untuk tanam dan panen ritual dan kemudian merayakan kehidupan desa, sunat dan pernikahan, menyatakan kesuburan, dan ditampilkan sensualitas, erotisme dan bahkan kadang-kadang "diterima secara sosial prostitusi." Ketuk tilu sangat populer di desa-desa Sunda, tapi Sunda perkotaan dianggap tidak dimurnikan dan tidak pantas karena laki-laki dan perempuan yang terlibat musik menari bersama suggestively, atau menari campuran antara laki-laki dan ronggeng, atau pelacur. Ronggeng mungkin telah ada di Jawa sejak zaman kuno, bas relief di bagian Karmawibhanga di Borobudur menampilkan adegan bepergian hiburan rombongan dengan musisi dan penari wanita.
Jaipong kurang ketat terkait dengan fungsi seremonial, tapi penampilan yang umum di bulan Rayagung festival, dan dengan khitanan dan pernikahan. Pertunjukan sekarang memiliki karakter fungsi sosial sekuler, dihadiri oleh muda dan tua, terutama untuk hiburan dan bersosialisasi. Kinerja Publik kini sangat sering terutama di klub atau pertunjukan jalanan.
Industri kaset dan booming di Indonesia membantu mempopulerkan jaipongan sangat dan dipromosikan gaya daerah daripada menyakiti mereka. Banyak belajar tari melalui kaset daripada kinerja. Media massa telah membuat jaipong di mana-mana. Ini telah menciptakan persaingan dalam gaya drumer antara ansambel. Hal ini juga membantu untuk membawa banyak sekolah tari, tari mengubah dan label pada perempuan di Jawa Barat.
Lagu repertoar jaipongan bervariasi, dan itulah mengapa lebih baik dipahami sebagai gaya kinerja terjalin musik dan tari. Banyak lagu-lagu yang berhubungan dengan ketuk tilu atau varietas regional mencapai luas lainnya, bukan gamelan tradisional. Ini terdiri dari lagu-lagu yang lebih baru asal sering terdiri untuk jaipongan. Topik Lagu bervariasi, meliputi mata pelajaran dgn kasih sayang, moral, mesum, topikal dan spiritual, sering menekankan budaya akar rumput.
Bila suatu ketika kita berkunjung ke daerah Indramayu, tidak jauh dari Pantai Eretan Wetan, di sepanjang lajur sebelah kanan by pass dari arah Jakarta ke Cirebon (jalur Pantura), terdapat sebuah jalan kecil yang bila ditelusuri menuju ke lokasi pemukiman sebuah komunitas yang menamakan dirinya Suku Dayak Hindu Budha Bumi Segandu. Orang luar sering juga menyebutnya dengan istilah “Dayak Losarang”, atau "Dayak Indaramayu”. Komunitas ini tepatnya bermukim di Kampung Segandu. Desa Krimun, Kecamatan Losarang. Kabupaten Indramayu.
“Suku Dayak Indramayu” mulai mencuat ke permukaan sejak pernyataan mareka untuk menjadi “Golongan Putih” (golput= tidak memilih salah satu partai) pada Pemilu tahun 2004.
“Suku Dayak Indramayu” hidup di tengah-tengah masyarakat sekitarnya, akan tetapi dalam beberapa hal, mereka mengisolasikan diri dari lingkungan masyarakatnya. Misalnya untuk tempat tinggal dan tempat peribadatan (ritual) mereka, dibentengi dengan dinding yang cukup tinggi dan diberi ornament lukisan-lukisan. Di dalam benteng ini terdapat beberpa bangunan yang terdiri atas: rumah pemimpin suku, pendopo, pesarean, pesanggaran, dan sebuah bangunan rumah tinggal salah satu pemimpin suku.
Benteng yang mengelilingi padepokan
Beberapa bangunan, yaitu rumah pemimpin suku dan pesarean sudah merupakan bangunanpermanent, berdinding tembok, berlantai keramik, dan beratap genteng. Gedung pendopo berdinding semi permanent, yaitu dinding bagian bawah berupa tembok dan duduk jendela/setengah badan ke atas menggunakan papan yang dilapis bilik, berlantai keramik, dan beratap genteng. Sementara itu, bangunan pesanggaran adalah bangunan non-permanen, berlantai tanah, beratap sirap dan dindingnya dibuat dari papan dan bilik.
Lingkungan alam di sekitarnya adalah lingkungan pertanian sawah dan palawija. Oleh sebab itu, mereka dalam kesehariannya bermata pencaharian sebagai buruh tani. Data tentang deskripsi kehidupan mereka diperoleh melalui wawancara dengan ketua Suku Dayak Hindu Budha.
Asal Usul Nama Suku Dayak Bumi Segandu
Komunitas ini menamakan dirinya dengan sebutan “Suku Dayak Hindu Budha Bumi Segandu Indramayu”. Menurut penjelasan warga komunitas ini, penamaan Suku Dayak ini mengandung makna sebagai berikut: Kata “Suku” artinya kaki, yang mengandung makna bahwa setiap manusia berjalan dan berdiri di atas kaki masing-masing untuk mencapai tujuan sesuai dengan kepercayaan dan keyakinan masing-masing.
Kata “Dayak” berasal dari kata “ayak” datau “ngayak” yang artinya memilih atau nyaring. Makna kata “Dayak” disini adalah menyaring, memilah dan memilih mana yang benar dan mana yang salah.
Kata “Hindu” artinya kandungan atau rahim. Filosofinya adalah bahwa setiap manusia dilahirkan dari kandungan sang Ibu (perempuan).
Sedangkan kata “Budha”, asal dari kata “wuda”, yang artinya telanjang. Makna filosofinya adalah bahwa setiap manusia dilahirkan dalam keadaan telanjang.
Selanjutnya adalah kata “Bumi Segandu Indramayu”. “Bumi mengandung makna wujud, sedangkan “Segandu” bermakna sekujur badan. Gabungan kedua kata ini, yakni “Bumi Segandu” mengandung makna filosofi sebagai kekuatan hidup.
Adapun “Indramayu”, mengandung pengertian “In” maknanya adalah “inti”, “Darma” artinya orang tua, dan kata “ayu” maknanya perempuan.
Makna filosofinya adalah bahwa ibu (perempuan) merupakan sumber hidup, karena dari rahimnyalah kita semua dilahirkan.
Jadi penyebutan kata “suku” pada komunitas ini bukan dalam konteks terminologysuku bangsa (etnik) dalam pengertian antropologis, melainkan penyebutan istilah yang diambil dari makna kata-kata dalam bahasa daerah (jawa).
Demikian juga dengan kata “Dayak”, bukan dalam pengertian sukubangsa (etnik) Dayak yang berada di daerah Kalimantan, kendati pun dari sisi performan ada kesamaan, yakni mereka (kaum laki-laki) sama-sama tidak mengenakan baju. Serta mengenakan asesoris berupa kalung dan gelang (tangan dan kaki).
Lebih jauh, pemimpin komunitas ini menjelaskan tentang pemakaian kata “Hindu-Budha” pada sebutan komunitas ini. Kendatipun kominitas ini menggunakan kata “Hindu-Budha”, bukan berarti bahwa mereka adalah penganut agama Hindu ataupun Budha. Penggunaan kata “Hindu”, karena komunitas ini meneladani peri kehidupan kelima tokoh Pandawa, yang terdiri atas: Yudistira, Bima(Wirekudara), Arjuna(Permadi), Nakula dan Sadewa, serta tokoh Semar, yang dipandang sebagai seorang mahaguru yang sangat bijaksana. Adapun penyebutan kata “Budha” karena mereka mengambil inti ajaran “aji rasa” (tepuk seliro) dan kesahajaan yang merupakan inti ajaran agama Budha.
Konsep-konsep Ajaran Sejarah Alam Ngaji Rasa
Ajaran dari kelompok “Dayak Indramayu” dinamakan dengan sebutan “Sejarah Alam Ngaji Rasa”. Menururt penjelasan salah seorang pengikut senior dari Pak Takmad, “Sejarah” adalah perjalanan hidup (awal, tengah, dan akhir) berdasarkan ucapan dan kenyataan. Sementara itu, “alam” adalah ruang lingkup kehidupan atau sebagai wadah kehidupan.
Adapun “Ngaji rasa” adalah tatacara atau pola hidup manusia yang didasari dengan adanya rasa yang sepuas mungkin harus dikaji melalui kajian antara salah dan benar, dan dikaji berdasarkan ucapan dan kenyataan yang sepuas mungkin harus bisa menyatu dan agar bisa menghasilkan sari atau nilai-nilai rasa manusiawi, tanpa memandang ciri hidup, karena pandangan salah belum tentu salahnya, pandangan benar belum tentu benarnya. “Oleh karena itu, kami sedang belajar ngaji rasa dangan prinsip-prinsip jangan dulu mempelajari orang lain, tapi pelajarilah diri sendiri antara salah dengan benarnya, dengan proses ujian mengabdikan diri kepada anak dan istri”, ungkapnya.
Konsep-konsep ajaran ini tidak didasarkan pada kitab suci, aliran kepercayaan, agam maupun akar budaya tertentu. Mereka berusaha mencari pemurnian dari dengan mengambil teladan sikap dan perilaku tikoh pewayangan Semar dan Pandawa Lima yang dianggapnya sangat bertanggungjawab terhadap kelaurga.
Proses menuju pemurnian diri, menurut Takmad, melalui beberapa tahap yang harus dijalin dengan menjauhkan diri dari keramaian dunia yang mengejar kesengan duniawi.
Tahap-tapah tersebut adalah: wedi-sabar-ngadirasa (ngajirasa)-memahami benar-salah.
Pada awalnya, setiap manusia wedi-wedian (takut, penakut) baik terhdap alam maupun lingkungan masyarakatnya. Oleh karena itu, manusia harus mengembangkan perasaan sabar dan sumerah diri dalam arti berusaha selaras dengan alam tanpa merusak alam. Prinsipnya adalah jangan merusak alam apabila tidak ingin terkena murka alam. Itulah yang disebut ngaji rasa atau ngadirasa. Setelah bersatu dan selaras dengan alam, dalam arti mengenal sifat-sifat alam sehingga bisa hidup dengan tenteram dan tenang karena mendapat lindungan dari Nur Alam (pencipta alam), manusia akan memahami benar-salam dan selanjutnya dengan mudah akan mecapai permurnian diri; manusia tidak lagi memiliki kehendak duniawi. Cerminan dari manusia yang telah memahami benar-salah, tampak dalam kehidupan sehari-harinya. Manusia yang telah mencapai tahap tersebut, akan selalu jujur dan bertanggungjawab.
Ngajisara, ajaran yang diakui sebagai jalan menuju pemurnian diri, mendidik setiap pengikutnya untuk mengendalikan diri dari “TIGA TA (harta, tahta dan wanita).
Bagi para pengikut yang telah menikah, suami harus sepenuhnya mengabdikan diri pada keluarga. Suami tidak boleh menghardik, memarahi, atau berlaku kasar terhadap anak dan istrinya. Oleh karena itu, perceraian merupakan sesuatu yang dianggap pantang terjadi. Demikian juga, hubungan di,luar pernikahan sangat ditentang. “Jangan coba-coba berzinah apabila tidak ingin terkena kutuk sang guru,” demikian salah seorang pengikut Pak Talmad mengungkapkan.
Ngaji rasa juga mengajarkan untuk saling mengasihi kepada sesama umat manusia. Misalnya, menolong orang yang sedang kesulitan walaupun berbeda kepercayaan, tidak menagih utang kepada orang yang diberi pinjaman. Yang terbaik adalah membiarkan orang yang berutang tersebut untuk membayar atas kesadarannya sendiri. Demikian juga dalam hal mendidik anak, sebaiknya tidak terlalu banyak ngatur karena yang bisa mengubah sikap dan perilaku adalah dirinya sendiri, bukan orang lain. Jalan menuju pemurnian diri juga ditunjukan dengan hidup yang sederhana, menjauhi keinginan mengejar kesenangan duniawi, menghilangkan perasaan dendam, penasaran dan iri kepaada orang laina.
Konsepsi tentang alam tampak dari keyakjian bahwa dunia berasal dari bumi segandu (bumi yang masih bulat) bernama Indramayu. Bumi segandu, kemudian menimbulkan lahar menjadi daratan, kekayon, dan air. Setelah itu muncul alam gaib, yangmengendlaikan semua itu adalah Nur Alam.
Ritual
Ritual yang dijalankan oleh anggota Suku Dayak Hindu-Budha Segandu Indramayu, dilakukan pada setiap malam Jum’at kliwon, bertempat di pendopo Nyi Ratu kembang. Beberapa puluh orang laki-laki bertelanjang dada dan bercelana putih hitam, duduk mengelilingi sebuah kolam kecil di dalam pendopo. Sementara itu,kaum perempuan duduk berselonjor diluar pendopo.
Ritual diawali dengan melantunkan Kidung Alas Turi dan Pujian Alam secara bersama-sama. Salah satu baik dari Pujian Alam, berbunyi sebagai berikut: ana kita ana sira, wijile kita cukule sira, jumlae hana pira, hana lima, ana ne ning awake sira. Rohbana ya rohbana 2x, robahna batin kita. Ning dunya sabarana, benerana, jujurana, nerimana, uripana, warasana, sukulana, penanan, bagusana [ada (pada) saya ada (pada) kamu, lahirnya aku tumbuhnya kamu, jumlahnya ada berapa, jumlahnya ada lima. Adanya di badan kita, Rohbana ya rohbana 2x, rubahnya bathin kita. Di dunia sabar, benar, jujur, nerima, hidup, sembuh (sadar), tumbuh, dirawat, (supaya) bagus].
Selesai melantunkan Kidung dan Pujian Alam, pemimpin kelompok, Takmad Diningrat, membeberkan cerita pewayangan tentang kisah Pandawa Lima dan guru spiritual mereka, Semar. Usai paparan wayang, Pak Takmad memberikan petuah-petuah kepada para pengikutnya. Paparan wayang dan petuah ini berlangsung hingga tengah malam. Usai itu, para lelaki menuju ke sungai yang terletak di belakang benteng padepokan. Di sungai dangkal itu mereka berendam dalam posisi telantang, yang muncul hanya bagian mukanya saja. Mereka berendam hingga matahari terbit. Ritual beremdam ini disebut kungkum.
Siang harinya, di saat sinar matahari sedang terik, mereka berjemur diri, yang berlangsung mulai sekitar jam 9 hingga tengah hari. Ritual ini disebut pepe.
Medar (menceritakan) cerita pewayangan, kungkum (berendam), pepe (berjemur) dan melantunkan Kidung dan Pujian Alam, adalah kegiatan ritual mereka yang dilakukan setiap anggota ini sehari-hari. Kegiatan secara massal hanya dilakukan pada setiap malam jum’at kliwon.
Ritual-ritual ini pada dasarnya adalah sebagai upaya menyatukan diri dengan alam, serta cara mereka melatih kesabaran. Semua ini dilakukan tanpa ada paksaan. “Bagi yang mampu silahkan melakukannya, tapi bagi yang tidak mampu, tidak perlu melakukan, atau lakukan semampunya saja,” ungkapnya.
Justru karena tariannya tidak spektakuler, maka ia merupakan sejatinya tarian, yakni perpaduan antara hakiki gerak dan hakiki diam. Bagi mereka yang kurang peka dalam pengalaman seni, tarian ini akan membosankan. Tarian kok tidak banyak gerak? Bukankah hakikat tari itu memang gerak (tubuh)? Inilah teka-teki Tarian Panji dalam Topeng Cirebon. Bagaimana penduduk desa mampu menciptakan tarian semacam itu? Penduduk desa yang tersebar di sekitar Cirebon hanyalah pewaris dan bukan penciptanya. Penduduk desa ini adalah juga penerus dari para penari Keraton Cirebon yang dahulu memeliharanya. Ketika Raja-raja Cirebon diberi status "pegawai" oleh Gubernur Jenderal Daendels, dan tidak diperkenankan memerintah secara otonom lagi, maka sumber dana untuk memelihara semua kesenian Keraton tidak dimungkinkan lagi. Para abdi dalem Keraton terpaksa dibatasi sampai yang amat diperlukan sesuai dengan "gaji" yang diterima Raja dari Pemerintah Hindia Belanda.
Begitulah penari-penari dan penabuh gamelan Keraton harus mencari sumber hidupnya di rakyat pedesaan. Topeng Cirebon yang semula berpusat di Keraton-keraton, kini tersebar di lingkungan rakyat petani pedesaan. Dan seperti umumnya kesenian rakyat, maka Topeng Cirebon juga dengan cepat mengalami transformasi-transformasi. Proses transformasi itu berakhir dengan keadaannya yang sekarang, yakni berkembangnya berbagai "gaya" Topeng Cirebon, seperti Losari, Selangit, Kreo, Palimanan dan lain-lain.
Untuk merekonstruksi kembali Topeng Cirebon yang baku, diperlukan studi perbandingan seni. Berbagai gaya Topeng Cirebon tadi harus diperbandingkan satu sama lain sehingga tercapai pola dan strukturnya yang mendasarinya. Dengan metode demikian, maka akan kita peroleh bentuk yang mendekati "aslinya". Namun metode initak dapat dilakukan tanpa berbekal dasar filosofi tariannya.
Dari mana filsafat tari Topeng Cirebon itu dapat dipastikan? Tentu saja dari serpihan-serpihan tarian yang sekarang ada dan dipadukan dengan konteks budaya munculnya tarian tersebut. Konteks budaya Topeng Cirebon tentu tidak dapat dikembalikan pada budaya Cirebon sendiri yang sekarang. Untuk itu diperlukan penelusuran historis terhadapnya.
Siapakah Empu pencipta tarian ini? Sampai kiamat pun kita tak akan mengetahuinya, lantaran masyarakat Indonesia lama tidak akrab dengan budaya tulis. Meskipun budaya tulis dikenal di Keraton-keraton Indonesia, tetapi tidak terdapat kebiasaan mencatat pencipta-pencipta kesenian, kecuali dalam beberapa karya sastranya saja.
Di Zaman Mana?
Kalau pencipta tidak dikenal, sekurang-kurangnya di zaman mana Topeng Cirebon ini telah ada? Kepastian tentang ini tidak ada. Namun ada dugaan bahwa di zaman Raja Majapahit, Hayam Wuruk, tarian ini sudah dikenal. Dalam Negarakertagama dan Pararaton dikisahkan raja ini menari topeng (kedok) yang terbuat dari emas. Hayam Wuruk menarikan topeng emas (atapel, anapuk) di lingkungan kaum perempuan istana Majapahit. Jadi Tari topeng Cirebon ini semula hanya ditarikan para raja dengan penonton perempuan (istri-istri raja, adik-adik perempuan raja, ipar-ipar perempuan raja, ibu mertua raja, ibunda raja).
Dengan demikian dapat diduga bahwa Topeng Cirebon ini sudah populer di zaman Majapahit antara tahun 1300 sampai 1400 tarikh Masehi. Mencari dasar filosofi tarian ini harus dikembalikan pada sistem kepercayaan Hindu-Budha-Jawa zaman Majapahit. Tetapi mengapa sampai di Keraton Cirebon? Setelah jatuhnya kerajaan Majapahit (1525), tarian ini rupanya dihidupkan oleh Sultan-sultan Demak yang mungkin mengagumi tarian ini atau memang dibutuhkan dalam kerangka konsep kekuasaan yang tetap spiritual. Dalam babad dikisahkan bahwa Raden Patah menari Klana di kaki Gunung Lawu di hadapan Raja Majapahit, Brawijaya. Ini justru membuktikan bahwa Topeng Cirebon erat hubungannya dengan konsep kekuasaan Jawa. Bahwa hanya Raja yang berkuasa dapat menarikan topeng ini, ditunjukkan oleh babad, yang berarti kekuasaan atas Jawa telah beralih kepada Raden Patah, dan Raja Majapahit hanya sebagai penonton.
Dari Demak tarian ini terbawa bersama penyebaran pengaruh politik Demak. Demak yang pesisir ini memperluas pengaruh kekuasaan dan Islamisasinya di seluruh daerah pesisir Jawa, yang ke arah barat sampai di Keraton Cirebon dan Keraton Banten. Inilah sebabnya berita-berita Belanda menyebutkan keberadaan tarian in di Istana Banten. Banten dan Cirebon, sedikit banyak membawa kebudayaan Jawa-Demak, terbukti dari penggunaan bahasa Jawa lamanya. Sedangkan Demak sendiri dilanjutkan oleh Pajang yang berada di pedalaman, kemudian digantikan oleh Mataram yang juga di pedalaman.
Topeng Majapahit ini, dengan demikian, hanya hidup di daerah pesisir Jawa Barat, sedangkan di Jawa pedalaman topeng tidak hidup kecuali bentuk dramatik lakon Panjinya. Kalau topeng tetap hidup dalam fungsi ritualnya, tentunya juga berkembang di kerajaan-kerajaan Islam Jawa pedalaman. Rupanya topeng dipelihara di Jawa Barat karena pesona seninya. Topeng sangat puitik dan kurang mengacu pada mitologi Panji yang hinduistik. Topeng lebih dilihat sebagai simbol yang mengacu pada realitas transenden. Inilah sebabnya sultan-sultan di Jawa Barat yang kuat Islamnya masih memelihara kesenian ini.
Topeng Cirebon adalah simbol penciptaan semesta yang berdasarkan sistem kepercayaan Indonesia purba dan Hindu-Budha-Majapahit. Paham kepercayaan asli, di mana pun di Indonesia, dalam hal penciptaan, adalah emanasi. Paham emanasi ini diperkaya dengan kepercayaan Hindu dan Budha. Paham emanasi tidak membedakan Pencipta dan ciptaan, karena ciptaan adalah bagian atau pancaran dari Sang Hyang Tunggal.
Siapakah Sang Hyang Tunggal itu? Dia adalah ketidak-berbedaan. Dalam diriNya adalah ketunggalan mutlak. Sedangkan semesta ini adalah keberbedaan. Semesta itu suatu aneka, keberagaman. Dan keanekan itu terdiri dari pasangan sifat-sifat yang saling bertentangan tetapi saling melengkapi. Pemahaman ini umum di seluruh Indonesia purba, bahkan di Asia Tenggara dan Pasifik. Dan filsuf-filsuf Yunani pra-Sokrates, filsuf-filsuf alam, juga mengenal pemahaman ini. Boleh dikatakan, pandangan bahwa segala sesuatu ini terdiri dari pasangan kembar yang saling bertentangan tetapi merupakan pasangan, adalah universal manusia purba.
Mengandung Semua Sifat Ciptaan
Sang Hyang Tunggal Indonesia purba ini mengandung semua sifat ciptaan. Karena semua sifat yang dikenal manusia itu saling bertentangan, maka dalam diri Sang Hyang Tunggal semua pasangan oposisi kembar tadi hadir dalam keseimbangan yang sempurna. Sifat-sifat positif melebur jadi satu dengan sifat-sifat negatif. Akibatnya semua sifat-sifat yang dikenal manusia berada secara seimbang dalam diriNya sehingga Sifat itu tidak dikenal manusia alias Kosong mutlak. Paradoksnya justru Kosong itu Kepenuhan sejati karena Dia mengandung semua sifat yang ada. Kosong itu Penuh, Penuh itu Kosong, itulah Sang Hyang Tunggal itu. Di dalamNya tiak ada perbedaan, tunggal mutlak. Di Cina purba, Sang Hyang Tunggal ini disebut Tao.
Topeng Cirebon menyimbolkan bagaimana asal mula Sang Hyang Tunggal ini memecahkan diriNya dalam pasangan-pasangan kembar saling bertentangan itu, seperti terang dan gelap, lelaki dan perempuan, daratan dan laut. Dalam tarian ini digambarkan lewat tari Panji, yakni tarian yang pertama. Tarian Panji ini merupakan masterpiece rangkaian lima tarian topeng Cirebon. Tarian Panji justru merupakan klimaks pertunjukan. Itulah peristiwa transformasi Sang Hyang Tunggal menjadi semesta. Dari yang tunggal belah menjadi yang aneka dalam pasangan-pasangan.
Inilah sebabnya kedok Panji tak dapat kita kenali secara pasti apakah itu perwujudan lelaki atau perempuan. Apakah gerak-geriknya lelaki atau perempuan. Kedoknya sama sekali putih bersih tanpa hiasan, itulah Kosong. Gerak-gerak tariannya amat minim, namun iringan gamelannya gemuruh. Itulah wujud paradoks antara gerak dan diam. Tarian Panji sepenuhnya sebuah paradoks. Inilah kegeniusan para empu purba itu, bagaimana menghadirkan Hyang Tunggal dalam transformasinya menjadi aneka, dari ketidakberbedaan menjadi perbedaan-perbedaan. Itulah puncak topeng Cirebon, yang lain hanyalah terjemahan dari proses pembedaan itu.
Empat tarian sisanya adalah perwujudan emanasi dari Hyang Tunggal tadi. Sang Hyang Tunggal membagi diriNya ke dalam dua pasangan yang saling bertentangan, yakni "Pamindo-Rumyang", dan "Patih-Klana". Inilah sebabnya kedok "Pamindo-Rumyang" berwarna cerah, sedangkan "Patih-Klana" berwarna gelap (merah tua).
Gerak tari "Pamindo-Rumyang" halus keperempuan-perempuanan, sedangkan Patih-Klana gagah kelaki-lakian. Pamindo-Rumyang menggambarkan pihak "dalam" (istri dan adik ipar Panji) dan Patih-Klana menggambarkan pihak "luar". Terang dapat berarti siang, gelap dapat berarti malam. Matahari dan bulan. Tetapi harus diingat bahwa semuanya itu adalah Panji sendiri, yang membelah dirinya menjadi dua pasangan saling bertentangan sifat-sifatnya. Inilah sebabnya keempat tarian setelah Panji mengandung unsur-unsur tarian Panji. Untuk hal ini orang-orang tari tentu lebih fasih menjelaskannya.
Topeng Panji menyimbolkan peristiwa besar universal, yakni terciptanya alam semesta beserta manusia ini pada awal mulanya. Topeng Panjing atau topeng Cirebon ini mengulangi peristiwa primordial umat manusia, bagaimana "penciptaan" terjadi. Tidak mengherankan kalau di zaman dahulu hanya ditarikan oleh para raja. Raja mewakili kehadiran Sang Hyang Tunggal itu sendiri, karena dalam paham kekuasaan Jawa, Raja adalah Dewa itu sendiri, yang dikenal dengan paham dewa-Raja.
Topeng Cirebon adalah gambaran sangat puitik tentang hadirnya alam semesta serta umat manusia. Sang Hyang Tunggal yang merupakan ketunggalan mutlak tanpa pembedaan, berubah menjadi keanekaan relatif yang sangat berbeda-beda sifatnya. Tari Panji adalah tarian Sang Hyang Tunggal itu sendiri, dan tarian-tarian lainnya yang empat adalah perwujudan dari emanasi diriNya menjadi pasangan-pasangan sifat yang saling bertentangan.
Topeng Cirebon adalah tarian ritual yang amat sakral. Tarian ini sama sekali bukan tontonan hiburan. Itulah sebabnya dalam kitab-kitab lama disebutkan, bahwa raja menarikan Panji dalam ruang terbatas yang disaksikan saudara-saudara perempuannya. Untuk menarikan topeng ini diperlukan laku puasa, pantang, semedi, yang sampai sekarang ini masih dipatuhi oleh para dalang topeng di daerah Cirebon.
Tarian juga harus didahului oleh persediaan sajian. Dan sajian itu bukan persembahan makanan untuk Sang Hyang Tunggal. Sajian adalah lambang-lambang dualisme dan pengesaan. Inilah sebabnya dalam sajian sering dijumpai bedak, sisir, cermin yang merupakan lambang perempuan, didampingi oleh cerutu atau rokok sebagai lambang lelaki. Bubur merah lambang dunia manusia, bubur putih lambang Dunia Atas. Cowek batu yang kasar sebagai lambang lelaki, dan uleg dari kayu yang halus sebagai lambang perempuan. Pisang lambang lelaki, buah jambu lambang perempuan. Air kopi lambang Dunia Bawah, air putih lambang Dunia Atas, air teh lambang Dunia Tengah. Sesajian adalah lambang keanekaan yang ditunggalkan.
Langganan:
Postingan (Atom)
FIND US ON FACEBOOK
Popular Posts
-
CIREBON – Unit Reskrim Polsekta Cirebon Utara Barat berhasil meringkus dua pelaku perampasan sepeda motor (Begal) yang terjadi di Jl Kesambi...
-
KEJAKSAN, (CNC).- Pemerintah Kota Cirebon akan segera mengubah Bank Pasar menjadi PD Bank Perkreditan Rakyat (BPR) Cirebon. Kepastian terseb...
-
CIREBON - Menjelang PPDB permintaan seragam sekolah terus meningkat. Salah satu toko perlengkapan sekolah di Jl Lawanggada, misalnya, terlih...
-
Tak jarang, antara benda yang satu dengan yang lainnya memiliki kesamaan nama, termasuk desa. Ternyata, ada beberapa nama desa di Kabupaten ...
-
CIREBON - Seni Burok adalah salah satu kesenian rakyat yang sangat terkenal dan digemari di kalangan masyarakat Brebes dan sekitar Cirebon. ...
-
MAJALENGKA - Komisi Pemilihan Umum (KPU) Kabupaten Majalengka menetapkan Daftar Pemilih Tetap (DPT) pada Pemilihan Presiden (Pilpres) tahun...
-
GEBANG, (CNC).- Bus Garuda Mas menabrak sebuah truk gadengan pengangkut barang elektronik di jalur Pantura tepatnya di Blok Bunut Desa Geban...
-
Bila suatu ketika kita berkunjung ke daerah Indramayu, tidak jauh dari Pantai Eretan Wetan, di sepanjang lajur sebelah kanan by pass dari ar...
-
Komunitas Cirebon : Ilustrasi MagicLamp Fingerboard Cirebon Hobi dan Ketertarikan: Fingerboard Seni memainkan trick di papan ukuran mini...
-
Telaga Remis sebuah obyek wisata terletak di Desa Kaduela, Kecamatan Pasawahan, Kabupaten Kuningan, Jawa Barat. Jaraknya ±37 km ke arah utar...